Sistem Bioplok Pelabuhan Terakhir Boyang

Ekobis, Kabar Ekonomi
pembudi daya ikan air tawar , pemeliharaan ikan nila , perkembangan bakteri heterotrof aerobik

Niat Hati Penyedia Bibit Nila

LamanQu.id – Dalam pemeliharaan ikan nila sistem bioflok, yang perlu dijaga adalah kandungan oksigen yang larut dalam udara.

Hal itu, karena oksigen yang dibutuhkan ikan untuk pertumbuhan juga diperlukan oleh bakteri untuk menguraikan atau sisa metabolisme di udara. Pada ikan nila, kadar oksigen terlarut (DO) di dalam media sebaiknya dipertahankan minimal 3 mg/L.

pembudi daya ikan air tawar

“Juga harus diterapkan secara benar sesuai kaidah-kaidah cara budidaya ikan yang baik seperti benihnya harus unggul, pakannya harus sesuai standar SNI, parameter kualitas udara seperti oksigen juga harus tercukupi,” ujarnya.

Penerapan budidaya sistem bioflok belum banyak dilakukan oleh masyarakat. Diharapkan dengan budidaya sistem bioflok penggunaan pakan lebih efisien, produktifitas tinggi, hemat air dan ramah lingkungan.

Ikan Nila dipilih untuk dibudidayakan karena ikan ini mempunyai daya toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan merupakan ikan pemakan fitoplankton, zooplankton, dan detritus.

Bioflok sendiri berasal dari kata bios yang artinya “kehidupan” dan flok “gumpalan”. Jadi bioflok adalah kumpulan dari berbagai organisme (bakteri, jamur, algae, protozoa, cacing), yang tergabung dalam gumpalan (floc).

Bioflok dapat terbentuk jika ada empat komponen yaitu sumber karbon, bahan organik dari sisa pakan dan kotoran ikan, bakteri pengurai dan ketersediaan oksigen.

Terbentuknya bioflok terjadi melalui pengadukan bahan organik oleh aerasi supaya terlarut dalam kolom air untuk merangsang perkembangan bakteri heterotrof aerobik (kondisi cukup oksigen) menempel pada partikel organik, menguraikan bahan organik (mengambil C-organik), selanjutnya menyerap mineral seperti ammonia, fosfat dan nutrient lain dalam air.

Sehingga bakteri yang menguntungkan akan berkembang biak dengan baik. Bakteri-bakteri ini akan membentuk konsorsium dan terjadi pembentukan flok. Hasilnya kualitas air menjadi lebih baik dan bahan organik didaur ulang menjadi flok yang dapat dimakan oleh ikan.

Keunggulan lainnya sistem bioflok adalah Feed Conversion Ratio (FCR) atau perbandingan antara berat pakan dengan berat total (biomassa) ikan dalam satu siklus periode budidaya mencapai 1,03. Artinya 1,03 kg pakan menghasilkan 1 kilogram ikan nila.

“(Itu lebih efisien) jika dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa FCR-nya mencapai angka 1,5,” tutur Boyang yang sedari 2016 menjadi Tenaga Ahli di PT Hexa Indotech Consultants.

Masih ada empat keunggulan lainnya, yaitu padat tebar ikan mencapai volume 100-150 ekor/m3 atau 10-15 kali lipat dibandingkan dengan pemeliharaan di kolam biasa yang hanya 10 ekor/m3. Ikan nila sistem bioflok lebih gemuk karena hasil pencernaan makanan yang optimal.

Niat Boyang memanfaatkan budidaya ikan nila sudah bulat. Bahkan, saat ini ia sedang mencoba membudidayakan jenis ikan nila Nirwana. Jenis ikan nila unggul yang laju pertumbuhannya jauh lebih cepat, bentuk tubuhnya relatif lebih lebar, dan struktur dagingnya lebih tebal dibandingkan jenis-jenis nila yang telah ada.

Sejumlah keunggulan tersebut membuat nila ini menjadi incaran para pengusaha atau pembudi daya ikan air tawar karena biaya produksi dapat diimbangi dengan periode pemeliharaan yang lebih singkat dan bobot panenan yang lebih besar.

“Jujur, tantangan terbesar adalah kegelisahan dari budidaya pembesaran ke penyediaan bibit berkualitas. Saya masih yakin di Palembang belum banyak yang memproduksi bibit nila betul-betul berkualitas,” urainya.

Boyang mencoba untuk menghitung-hitung sisi bisnis dari usaha pembibitan ikan nila. Sekiranya pembudiaya ikan nila biasa menjual bibit ukuran 7/9 seharga Rp 2.000 per ekor, dan dibeli sebanyak 1.000 ekor maka bisa dipastikan belumlah terlalu maksimal.

“Basis saya kan konsultan. Sebelum ada bukti yang otentik, sulit bagi saya untuk percaya,” katanya.

Misalnya, bibit nila dijual seharga Rp 2.000 per ekor. Artinya, untuk biaya bibit saja Rp 2.000 x 1.000 ekor, butuh biaya Rp 2 juta. Belum lagi pakan untuk 1.000 bibit perlu pakan sebanyak 250 kilogram. Maka, 250 kilogram x Rp 11.000 per kilogram, totalnya Rp 2.750.000. Biaya bibit tambah biaya pakan berjumlah Rp 4.750.000. Nah, anggaplah 4 ekor per kilogram, maka ada 250 kilogram ikan siap jual. Artinya, 250 kilogram x Rp 25.000 per kilogram berjumlah Rp 6.250.000.

Total keuntungan Rp 6.250.000 – Rp 4.750.000 = Rp 1.500.000. Ini berarti sebulan hanya memeroleh Rp 750.000. Itu kalau tingkat kematiannya 0 persen.

“Intinya, saya mau bilang bahwa kebanyakan pembudidaya ikan mematok harga jual bibit tidak berdasarkan riset yang tepat,” tutup Boyang.