Wafatnya Lingkungan, Sengsara Jangan..!

News
Lingkungan hidup , Lingkungan kota Palembang , Periode ke-2 harno-fitri , Walhi Sumsel

* Misteri Lingkungan ala Harnojoyo…!

Palembang, lamanqu.id – Persoalan lingkungan dianggap masih mengancam kehidupan rakyat di kota Palembang. Dari 35.855 hektar luasan kota ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan mencatat sisa Ruang Terbuka Hijau (RTH) tinggal 10 persen atau sekitar 3.654 hektar. Tak sampai di situ, banyak sekali rentetan masalah lingkungan hidup di kota yang berslogan Palembang Emas Darussalam itu. Bagaimana kinerja walikota Palembang H Harnojoyo bersama wakilnya Fitrianti Agustinda di periode ke-2 tepatnya 1 tahun 34 hari pasca dilantik terhadap berbagai persoalan lingkungan?.

Tim lamanqu.id mencoba mewawancarai M Hairul Sobri selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan, pekan ke-2 Oktober 2019. Berikut petikannya:

Pandangan WALHI terhadap persoalan lingkungan hidup di kota Palembang?
Hasil kajian yang kami temukan ternyata dari luas kota yang mencapai 35.855 hektar, Ruang Terbuka Hijau bersisa 3.645 hektar. Jadi ke mana angka 7.000 hektar lagi? Sepertinya angka RTH itu memerlihatkan betapa parahnya perhatian dan kepedulian pemerintah di kota ini untuk sektor lingkungan.

Anda melihat, walikota Palembang tidak memiliki rancangan strategis di bidang lingkungan?
Harusnya setiap kepala daerah memiliki yang namanya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Nah, saya melihat, KLHS itu tidak dimiliki oleh pemimpin di kota ini. Terbukti ada banyak perubahan-perubahan yang ujung-ujung memberikan dampak negatif bagi masyarakat luas. Bagaimana mungkin lingkungan bisa teratasi, jika pemerintah saja abai terhadap rancangan tentang kajian lingkungan. Ya. Boleh dikata walikota Palembang belum mampu melihat secara nyata bagaimana nasib lingkungan hidup di kota ini.

Dulu Palembang dikenal dengan kota rawa, sekarang Anda melihat seperti apa?
Kita menyaksikan betapa kondisi rawa-rawa di kota Palembang semakin parah. Bahkan, seringkali terjadi bentang alam di tanah rawa-rawa kita. Kita mencatat luasan rawa kita tinggal 2.372 hektar. Dan, itu sebagian besar telah beralih fungsi menjadi mall-mall, pabrik, pemukiman dan pusat industri. Ini kan tak berimbang dengan kelanjutan yang ramah lingkungan.

Lalu, apa yang bisa Anda jelaskan tentang persoalan AMDAL?
Masalah Analisa Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL boleh dikata tidak menjadi perhatian serius dari pemerintahan Harnojoyo. Banyak sekali temuan-temuan WALHI di lapangan yang mana AMDAL sering menyesuaikan. Ibarat kata sifatnya menyusul kemudian. Ya. Jelas itu akan memengaruhi bagaimana pembangunan RTH di kota ini.

Isu apalagi menurut Anda yang kini menjadi ancaman bagi kesinambungan lingkungan hidup?
Masalah sampah. Sampah-sampah yang ada di kota Palembang cukup dilematis. Kita lihat Palembang kan, salah satu kota di Indonesia yang padat penduduk, pusat perekonomian, pusat industri, serta pusat pemerintahan. Idealnya seandainya ada pabrik yang tak laik lagi beroperasi jangan lagi diberikan izin beroperasi. Stop operasional pabrik tersebut. Bahaya sekali bila izin diberikan. Lagi-lagi yang merasakan dampak lingkungan rakyat Palembang.

Menurut Anda, masih adakah pembangunan yang mengorbankan kearifan lokal?
Nah, inilah yang menjadi soroton WALHI selama ini. Misalnya, Pusri dengan mudahnya membangun Ipal di wilayah cagar budaya. Itu kan kawasan lindung. Bagaimana mungkin Pusri kok bisa mengorbankan kearifan lokal demi sebuah pembangunan. Makanya, ada pepatah ‘Jangan sesekali lupakan sejarah’. Ada historis di sana.

Kebutuhan apa paling mendesak agar kondisi lingkungan bisa seimbang dengan pembangunan?
Saya contohkan, pengelolaan sampah. Kita tahu di Palembang ada Tempat Pengumpulan Akhir (TPA) yaitu di Sukawinatan dan Karyajaya. Jika saja tumpukan sampah di Sukawinatan penuh, maka jalan terakhir kan harus dibawa ke TPA Karyajaya. Nah, saya lihat mekanisme pendistribusian sampah tersebut tidak berjalan secara baik. Pemerintah jangan salahkan masyarakat yang bermukim di pinggiran bila mereka membuang sampah sembarangan.

Pendapat Anda tentang budaya masyarakat terhadap sampah?
Pemerintah tidak pernah menghargai rakyatnya. Jangankan membangun budaya membuang sampah, menfasilitasi rakyat untuk membuang sampah pada tempatnya pun tidak pernah ada. Faktanya, mana ada tong sampah dibangun di pojok-pojok pemukiman. Belum lagi berbicara aturan pengangkutan sampah tersebut.

Anda sepakat pemerintah hanya semata-semata mencari citra di sektor persampahan?
Ha..ha…(Sobri terbahak). Ya. Sebenarya piala Adipura yang dibanggakan Harnojoyo itu tak lain hanyalah sebuah pencitraan sesaat. Jika kepala daerah sadar, sesungguhnya Adipura adalah motivasi nyata untuk rakyatnya. Saya belum melihat apakah ada dampak langsung Adipura itu terhadap kondisi sampah di kota Palembang yang kita cintai ini. Bukan itu yang diinginkan rakyat Palembang. Yang diimpikan rakyat jelas walikota Palembang dan wakil walikota Palembang mengusai betul akar persoalan sampah baik di Hulu maupun di Hilir.

Anda yakin pemerintahan di periode ke-2 Harnojoyo memiliki database tentang sampah?
Saya berani katakan tidak yakin. Pertanyaan saya, seberapa banyak volume sampah rumah tangga, sampah plastik yang dihasilkan oleh satu Rukun Tetangga? Belum lagi satu kelurahan ataupun satu kecamatan. Pemerintah saya kira tak punya kajian soal sampah tersebut.

Itu artinya Harnojoyo tutup mata terhadap pencemaran lingkungan di kota Palembang?
Coba kita saksikan lingkungan di sepanjang aliran sungai Musi. Ketika sungai terjadi perubahan otomatis fungsi sungai pun ikut berubah. Kami memerkirakan yang namanya normalisasi tidak menjadi perhatian. Sementara kita lewat KLHS terus mencoba membedah hal itu secara konstruktif.

Anda melihat adakah kepentingan bisnis di setiap program lingkungan hidup?
RTH itu tidak bisa dipindah-pindahkan. Pembangunan juga tidak bisa dilandaskan pada kepentingan bisnis. Misalnya, kita bikin mall nih, setelah berjalan toh tidak laku. Lalu dengan seenaknya kita pindahkan ke tempat lain. Ini sama halnya membangun tanpa memikirkan rancangan strategis. Kita tahu dulunya PSCC itu kan awalnya RTH, terus LRT di Demang Lebar Daun semula kawasan terbuka. Tapi, kok sekarang RTH seolah-olah telah berubah fungsi. Ada apa ini…!

Secara global WALHI menilai pemerintah kota Palembang tidak peduli lingkungan hidup?
Pemerintah Kota Palembang jangan lagi membangun yang melukai hati rakyat. Jangan lagi dengan mudahnya memberikan izin kepada pengusaha untuk menjalankan bisnisnya tanpa memikir nasib rakyat di kota Palembang. Kalau itu tidak menjadi fokus pemerintah, saya kuatir akan bertaburan mafia-mafia lingkungan di kota ini. Dan, kita bersiap berhadapan dengan penjahat-penjahat lingkungan.

Dari hasil pengamatan WALHI, apa saja sangsi bagi penjahat lingkungan?
Saya tidak pernah sekalipun menyaksikan penjahat lingkungan yang dihukum. Itu menunjukkan betapa tak seriusnya seorang Harnojoyo terhadap kesinambungan lingkungan di kota ini.

Apa catatan Anda mengenai kinerja Harnojoyo untuk masa depan lingkungan hidup?
Poin pertama adalah Harnojoyo tidak memahami apa itu makna partisipatif. Sehingga tak heran capaian-capaian di program lingkungan tampak sia-sia. Ya, seharusnya Harnojoyo perlu mengajak semua unsur dalam mengambil kebijakan terutama berkait dengan masalah lingkungan.

Harapan besar Anda supaya lingkungan hidup selaras dengan program pembangunan?
WALHI sangat berharap di periode ke-2 kepemimpinan Harnojoyo-Fitrianti Agustinda lebih peduli terhadap persoalan-persoalan lingkungan. Sebetulnya gampang bagi Harnojoyo untuk menjaga kelestarian lingkungan di kota Palembang.
Anggaplah di periode 5 tahun pertama, menjadi pelajaran baginya. Nah, di periode ke-2, seharusnya Harnojoyo lebih fokus memerbaiki serta menjaga masa depan ekosistem lingkungan. Jika tidak…? Maka, jangan salahkan rakyat Palembang untuk mempertanyakan kepemimpinan Harnojoyo. Singkat kata, walikota gagal menjaga amanat rakyat di kota ini. (DIDYA).