Filsafat Islam Dalam Sejarah, Tak Banyak Orang Tau

Opini
al-Kindi , al-Mutawakkil , filsafat , Filsafat Islam , teologi

lamanqu.id – Sudah menjadi fakta yang tidak terbantahkan bahwa setiap bangsa yang mampu melewati berbagai tantangan kelak akan menjadi bangsa yang mencapai tingkat kejayaan yang tinggi, mencapai kemakmuran dan kemajuan secara totalitas, dan tentu dengan sendirinya akan membentuk sebuah peradaban.

Perjuangan bangsa yang membuahkan hasil harus dijadikan kacamata dalam membaca realita historis untuk membandingkan dan setidaknya menerapkan kembali langkah yang tepat dalam upaya mencapai kejayaan. Tidaklah berlebihan jika hal ini dinisbatkan kepada Daulah Abbasyiah yang melanjutkan kekuasaan Umayyah.

Secara umum, rezim-rezim yang ingin mencapai kejayaan pada mulanya membentuk ibu kota baru sebagai embrio awal penyusunan strategi. Sejarah menuturkan bahwa rezim-rezim Timur Tengah membangun kota baru yang kemudian dijadikan markas besar untuk mengatur tata pemerintahan baru.

Sebagai contoh, penguasa Sasania membangun kota Ctespihon di lokasi yang strategis di Irak yang kemudian membuat saluran pengairan dari sungai Tigris dan Eufrat. Hal ini juga dilakukan oleh Daulah Abbasiyah dengan membangun kota Baghdad sebagai ibu kota dan sebagai pusat dalam menjalankan roda pemerintahan mereka.

Daulah Abbasiyah merupakan khilafah keemasan dalam panggung sejarah Islam. Abbasiyah mampu mengukir sejarah dalam tangga kemakmuran. Rentan waktu kekuasaannya berjalan kurang lebih selama 6 abad dengan dikemudikan oleh 37 khalifah.

Abbasiyah menjadi pusat peradaban Islam yang mampu merevolusi segala bidang terutama bidang ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu filsafat, hukum, teologi, kedokteran, dan lain-lain. Semua bidang ilmu dikuasai di tangan ilmuwan yang mumpuni dan kompeten, sehingga Baghdad ketika itu menjadi jantung kehidupan intelektual.

Para ilmuwan sudah mulai berpikir kritis dalam menganalisa suatu masalah. Mindset yang kritis pada hakikatnya dibangun oleh bidang ilmu yang mengedepankan rasio tiap individu. Dalam hal ini, ilmu filsafat sangat mempengaruhi pola pikir para ilmuwan Abbasiyah, karena filsafat merupakan refleksi kritis yang dilakukan oleh manusia.

Berbicara tentang filsafat Islam, tentu tidak bisa terlepas dari pembicaraan filsafat secara umum yang disponsori oleh filosof-filosof Yunani, di antaranya Plato dan Aristoteles.

Seperti yang telah diabadikan dalam bingkai sejarah, pada abad ke-7, yakni masa Bani Umayyah, sering terjadi perdebatan lokal dalam Islam dan mulai bermunculan aliran-aliran teologi, seperti Murji’ah dan Mu’tazilah. Mereka sering memperdebatkan masalah qada’ dan qadar, determinisme dan indeterminisme.

Akan tetapi, perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasional Mu’tazilah muncul pada ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pola pikir yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan oleh pemerintahan Abbasiyah pada periode pertama setelah terjadi kontak dan interaksi dengan pemikiran Yunani yang menjalar dalam Islam.

Perkenalan orang Islam dengan filsafat terjadi sekitar abad ke-8 yang ditandai dengan adanya gerakan penerjemahan terhadap filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Adanya gerakan terjemahan ini membawa pengaruh pada kemajuan ilmu pengetahuan agama.

Akan tetapi, bukan berarti sebelum masa itu orang Islam tidak mengenal filsafat sama sekali, karena gerakan penerjemahan bukanlah satu-satunya jalan menuju perkenalan. Ada jalan lain yang kemungkinan bisa terjadi, dan bahkan sudah terjadi, yakni pergaulan dengan mereka yang sudah lebih dahulu mengenal filsafat Yunani.

Dalam rentan waktu yang singkat, para ilmuwan Muslim berhasil menerjemahkan buku-buku filsafat Yunani. Namun, dalam prosesnya, mereka mengalami kendala dalam penerjemahan.

Faktor utama yang mendasari tidak lain karena dunia pikir Islam yang memiliki corak pikir tersendiri (dualistis, discontinue, dan dialogis) dihadapkan dengan corak pemikiran Yunani (sistematis, continue, dan analogis) yang dianggap baru bagi mereka. Akibatnya, terjadi simpang siur dalam menguraikan terjemahan.

Tetapi, berkat adanya gerakan penerjemahan tersebut, sebagian besar karangan Plato dan Aristoteles serta karangan plotinus (Neo Platonisme) sudah bisa dibaca oleh para ulama.

Setelah kegiatan penerjemahan berlangsung, mulailah lahir bibit-bibit intelek Islam. Diawali dengan Al-Kindi (185 H/801 M – 260 H/873 M) yang hidup pada era Khalifah al-Makmun dan al-Mu’tashim di Baghdad. Al-Kindi merupakan Muslim pertama berkebangsaan Arab yang mempelajari ilmu pengerahuan dan filsafat. Kejeniusan terhadap ilmu filsafat dan disiplin ilmu lainnya mampu mengantar al-Kindi menyandang predikat Failasuf al-‘Arab (Filosof berkebangsaan Arab).

Khalifah al-Makmun berinisiatif memasukkan al-Kindi ke dalam jajaran cendekiawan yang bergelut dalam bidang filsafat untuk menerjemahkan karya-karya Yunani. Al-Kindi semakin mendapat popularitas di mata kerajaan dan ikut serta berkontribusi dalam kemajuan pemerintahan. Al-Kindi juga mendirikan perpustakaan pribadi yang bernama Al-Kindiyyah.

Salah satu upaya al-Kindi dalam memperkenalkan filsafat kepada dunia Islam adalah dengan cara memadukan antara filsafat dan agama, atau antara akal dan wahyu. Logika merupakan media dalam berfilsafat, sementara iman menjadi jalan agama.

Menurutnya, antara dua substansi ini tidak ada pertentangan karena masing-masing keduanya adalah ilmu tentang kebenaran. Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada 3 alasan. Pertama, ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. Kedua, wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian. Ketiga, menuntut ilmu, secara logika, diperintahkan dalam agama.

Tujuan ungkapan al-Kindi di atas adalah untuk menghalalkan filsafat dan menghapus paradigma “keburukan filsafat” dari dunia Islam serta untuk memuaskan pihak-pihak yang anti filsafat.

Proses yang dilakukan oleh al-Kindi membuahkan hasil. Ia berhasil merangkul dan merubah pola pikir masyarakat Islam. Mereka digiring oleh al-Kindi untuk memahami antara iman dan agama secara kritis dan sistematis. Hasil pemikiran itu dikerjakan untuk menyusun sistem pemikiran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Dengan demikian, al-Kindi telah membuka pintu untuk dunia Islam dalam menginterpretasikan suatu masalah dengan pendekatan filosofis, sehingga menghasilkan kesesuaian antara wahyu dan akal atau antara filsafat dan agama. Dari upaya inilah, timbul para filosof di kalangan kaum Muslimin yang menyebarkan tradisi berpikir filsafat yang dipelopori oleh al-Kindi.

Sayangnya, al-Makmun meresmikan faham Mu’tazilah sebagai madzhab negara yang wajib ditaati warga negara. Al-Makmun menarik para filosof untuk ikut bergabung dengan Abbasiyah, sehingga golongan Ahlussunnah pada saat itu menjadi terpojokkan. Al-Kindi mendapat instruksi dari al-Makmun untuk menulis risalah tentang keadilan, kemahaesaan Tuhan dan perbuatan-Nya untuk mendukung berjalannya paham Mu’tazilah.

Ironisnya, al-Kindi juga ikut membantah dan mematahkan argumen Ahlussunnah karena tidak sepaham dengan Mu’tazilah. Tentu hal semacam ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat yang mayoritas mengikuti aliran Sunni, karena paham Mu’tazilah bagi mereka sangat bertentangan dan tidak sesuai dengan syariat, apalagi ketika terjadi tindakan dari al-Makmun yang tidak manusiawi yang dikenal dengan peristiwa Mihnah, sehingga citra filsafat pada saat itu menjadi buruk di mata masyarakat. Peristiwa ini terjadi sampai tahta kerajaan diduduki oleh Khalifah al-Watsiq.

Setelah kepemimpinan al-Watsiq berakhir, tahta kerajaan diduduki oleh al-Mutawakkil (847-861 M). Dia melakukan hal yang bertolak belakang dengan para pendahulunya, yaitu menjadikan madzhab Ahlussunnah sebagai madzhab resmi negara dan mengasingkan madzhab Mu’tazilah dari Baghdad.

Al-Mutawakkil seolah menjadi pahlawan baru yang membela Ahlussunnah dan para ulama Sunni lainnya. Dia memberikan fasilitas yang lebih kepada ulama-ulama Sunni yang sebelumnya telah dikucilkan oleh Khalifah al-Makmun. Pada masa inilah paham Mu’tazilah sangat dibenci dan dimusuhi.

Momen ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak anti filsafat untuk menjatuhkan popularitas al-Kindi sebagai tokoh filsafat dan untuk mengubur ilmu filsafat. Al-Mutawakkil menginstruksikan agar al-Kindi ditangkap, dipenjarakan dan didera akibat menyalahgunakan filsafat sebagai media untuk kemajuan Mu’tazilah. Tidak hanya itu, al-Mutawakkil juga memerintahkan agar perpustakaan pribadi Al-Kindiyyah disita, dikucilkan dan disegel.

Kondisi filsafat pada era al-Mutawakkil sama sekali tidak mendapat apresiasi, bahkan filsafat dihapuskan dari bidang ilmu pengetahuan. Para tokoh filsafat ditangkap dan dikucilkan. Hal ini tentu berputar 360 derajat dari masa sebelumnya yang menjadi puncak kejayaan ilmu filsafat. Namun, dalam menyikapi perputaran arah tersebut, kita sebagai orang Islam yang bijaksana harus mengambil sikap tawassuth (jalan tengah) seperti yang telah diajarkan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari.

Walaupun Mu’tazilah dan filsafat pada saat itu sangat dibenci dan dimusuhi, namun jasa mereka di bidang intelektual—khususnya bidang filsafat yang dipelopori al-Kindi—sangatlah besar karena mereka berhasil membuka cakrawala berpikir bagi dunia Islam dengan mengedepankan rasio dan logika-logika yang tajam untuk memahami ilmu-ilmu lain.

Metode berpikir filsafat setidaknya perlu diaplikasikan dalam pendidikan di Indonesia. Kemampuan berpikir dalam diri siswa harus dibangun sejak dini untuk membentuk karakter berpikir yang kritis dan konstruktif guna merespon masa depan masyarakat dan mengaplikasikan konsep filosofis pendidikan Islam sebagaimana yang telah diterapkan oleh Alquran dan Hadis. (Sumber :Qureta)