Ada Sisi Birokrasi Perizinan Sering Dijadikan Mesin Penjemput Uang Haram

Opini
Korupsi , Online Single Submission (OSS) , Perizinan

Palembang, lamanqu.id-Delapan tahun bekerja pada posisi karir Government Relation berkotak katik pada urusan perizinan dengan prosedur tahapan output rekomendasi dan segalah bentuk izin batas waktu komitmen dan retribusi. Belum lagi berhadapan dengan tim tekhnis masing masing dinas yang banyak mau nya, Tak salah jika berbagi pandangan dengan melihat sisi birokrasi perizinan di negeri ini pada momentum yang lagi mencuat ke permukaan.

Ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian bersama terkait kasus suap yang melibatkan sejumlah pejabat Kabupaten Bekasi dan petinggi kelompok usaha Lippo Group yang sat ini ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pertama, kasus tersebut mengingatkan kita untuk menimbang kembali pemberian hukuman terhadap para terpidana kasus korupsi. Salah satu tersangka dalam kasus tersebut adalah orang yang pernah menjadi terpidana dalam kasus suap serupa. Apakah hukuman dan pelaksanaannya sungguh bisa membuat jera pelaku tindak pidana korupsi (Tipikor)?

Kedua, karena terkait dengan kegiatan bisnis dari tersangka, kasus tersebut juga seharusnya menjadi momentum bagi para penegak hukum untuk melakukan penyelidikan yang lebih memadai untuk memastikan apakah korporasi terlibat atau tidak di dalamnya.

Instrumen hukum untuk menjadikan korporasi sebagai tersangka dalam kasus pidana sudah tersedia. Tinggal kemauan politik saja yang diperlukan untuk melakukannya.

Ketiga, kasus ini juga memperlihatkan persoalan klise: Tipikor sedemikian dekat dengan birokrasi perizinan. Menurut KPK, kasus penyuapan ini terkait dengan perizinan proyek Meikarta.

Sejak awal, proyek hunian dan komersial Meikarta disorot oleh publik karena kegiatan pemasaran –yang sangat gencar- dan pembangunannya dilakukan selagi perizinannya belum beres.

Ketika publik menyorot proyek ini pada Agustus tahun lalu, proyek Meikarta baru memiliki Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT), untuk lahan seluas 84,6 hektare di wilayah Lippo Cikarang dari 500 hektare yang direncanakan.

Dengan hanya mengantongi IPPT seharusnya pengembang belum boleh mulai melakukan pembangunan. Ada sejumlah izin dan rekomendasi yang harus dipenuhi sebelum benar-benar bisa memulai pembangunan.

Di tengah riuhnya soroton terhadap proyek itu, Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menghadiri topping off dua tower di Meikarta CBD, Cikarang pada Oktober 2017.

Luhut saat itu mengaku mendapat penjelasan dari CEO Lippo Group bahwa tidak ada masalah terkait perizinan. Kehadiran Luhut seakan memberikan sinyal politik untuk meredakan kegaduhan dan dorongan untuk melanjutkan proyek tersebut.

Publik mendapat kabar tentang turunnya rekomendasi dari pemerintah provinsi Jawa Barat untuk Meikarta pada awal Desember 2017. Itu pun hanya untuk 84,6 hektare, bukan 500 hektare. Kenapa hanya seluas itu?

Deddy Mizwar, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, menulis di akun Twitter-nya, “Saya kuatir jika luas lahan proyek Meikarta lebih dari 84,6 hektar itu bisa berdampak pada kualitas dan kuantitas suplai air bersih.”

Bulan ini, setahun setelah riuh rendah sorotan publik, KPK membongkar kasus penyuapan terkait perizinan proyek Meikarta.

Kasus penyuapan ini mempertegas kembali bahwa birokrasi perizinan sangat rawan tindak pidana korupsi. Birokrasi perizinan mempunyai kekuasaan yang sangat menentukan keberlangsungan sejumlah aktivitas dalam masyarakat.

Seperti hal-hal lain yang mempunyai kekuasaan penting, birokrasi perizinan sangat mudah terpeleset menjadi wilayah penyalahgunaan wewenang terjadi.

Di tangan mereka yang menyalahgunakan wewenang, birokrasi perizinan adalah ladang subur bagi uang haram yang berasal dari pungutan liar dan penyuapan. Dalam konteks itu, birokrasi perizinan seringkali dengan sengaja dirancang dalam kerangka yang sama sekali tidak efisien dan efektif terhadap tujuannya.

Bukan menjadi rahasia lagi bahwa kebanyakan birokrasi perizinan di negeri ini adalah urusan yang panjang dan berbelit.

Menyadari hal itu, untuk memangkas birokrasi perizinan yang panjang dan berbelit-belit terutama dalam hal kegiatan usaha, pemerintah mengembangkan layanan perizinan usaha terintegrasi yang disebut Online Single Submission (OSS).

Namun layanan yang diluncurkan bulan Juli lalu itu tampaknya belum mulus berjalan. Sejumlah pemerintah daerah terlihat tidak siap –jika bukan disebut enggan- untuk terhubung ke dalam sistem tersebut. Sayang sekali.

Kehadiran rezim perizinan dalam sebuah negara demokrasi sebetulnya merupakan upaya perlindungan terhadap kepentingan publik dan tujuan bernegara. Prinsip utama rezim perizinan adalah melarang kegiatan tertentu yang mengancam kepentingan publik dan lingkungannya.

Dalam rezim perizinan, larangan-larangan itu dikecualikan kepada pihak yang mampu memenuhi syarat -yang dirancang untuk memastikan bahwa kepentingan publik dan lingkungannya itu tidak terancam.

Seharusnya sistem birokrasi perizinan diarahkan kepada tujuan itu dan menutup peluang untuk mengubahnya menjadi mesin uang haram bagi pengelolanya. Untuk itu, birokrasi perizinan haruslah transparan dan terukur.

Dengan demikian, warga negara –dengan berbagai macam urusan- tidak harus merasa perlu mencari jalan pintas yang melanggar hukum untuk mengakali birokrasi.

Birokrasi perizinan yang transparan dan terukur tidak akan memberikan alasan kepada korporasi untuk melakukan penyuapan kepada siapapun demi memperlancar kegiatan usahanya. (JL)