Ada Apa Dengan Perundingan Indonesia-EU CEPA, Implikasi Luas Palembang Senyap Giatnya

Opini
FTA , Perundingan Indonesia-EU CEPA , RCEP

Palembang, lamanqu.id — Aksi Responsif Agenda Perundingan Indonesia-EU CEPA Putaran ke-6 di Palembang, 15-19 Oktober 2018
Suara Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Keadilan Ekologis “Indonesia Not For Sale Indonesia saat ini sedang merundingkan beberapa perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara seperti Uni Eropa, EFTA (Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa) yang terdiri atas Swiss, Norwegia, Eslandia dan Liectenstin, serta merundingan perjanjian perdagangan dengan 15 negara lain dalam RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership).

Walaupun perundingan-perundingan tersebut diberi nama kerjasama ekonomi atau economic partnership, namun cakupan dalam perundingan tersebut sangat luas, dan akan memiliki implikasi yang serius mempengaruhi kehidupan kita.
Perundingan Indonesia-Uni Eropa Comprehensive Economic Partnership Agreement (IUE CEPA) sejak diluncurkan pada 2016 hingga memasuki negosiasi putaran ke-6 pada bulan Oktober 2018 yang dilaksanakan di Kota Palembang terbilang senyap informasi dan menjadi agenda tersembunyi (tidak transparan) – kami melihat perundingan IUE CEPA hanya terfokus pada liberalisasi dan deregulasi perdagangan dan arus investasi sebagai tujuan utama.

Sementara banyak bukti menunjukkan kegagalan kebijakan neoliberal dari globalisasi yang dipimpin perusahaan yang berkontribusi terhadap perubahan iklim, degradasi lingkungan dan melebarnya ketidaksetaraan di seluruh dunia. Perjanjian perdagangan dan investasi terus mengabaikan biaya sosial dan lingkungan yang sangat besar.
Berikut ini adalah salah satu bab yang dirundingkan dalam FTA atau seringkali disebut CEPA (Perjanjian Kerjasama Ekonomi Komprehensif) dengan Uni Eropa, yaitu Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (IPR), terutama pengaturan atas hak paten dan dampaknya pada sector pertanian, keragaman hayati, kepentingan dan penguasaan petani atas benih, dan paten atas mikroorganisme.
Dari hasil kajian Masyarakat Sipil Sumatera Selatan untuk Keadilan Ekologis Bab IPR dalam Proposal IUE CEPA menunjukkan besarnya kepentingan korporasi.

Salah satu artikel (artikel X.46) dalam bab IPR misalnya mewajibkan negara pihak untuk menjadi anggota UPOV 1991, UPOV 1991 adalah perjanjian internasional untuk tanaman yang mendorong komersialisasi dan privatisasi varietas tanaman. Hal ini dapat menyebabkan monopoli benih dan menghilangkan hak petani atas benih. Pemulia tanaman yang mengklaim hak kekayaan intelektual (HKI) atas varietas tanaman merupakan ancaman bagi penghidupan petani dan hak asasi manusia atas pangan. Perpanjangan HKI juga akan meningkatkan kriminalisasi terhadap petani dan berdampak terhadap perlindungan hak asasi manusia dan keberlanjutan ekologis. IUE CEPA juga akan berkontribusi pada konsentrasi lebih lanjut dari pasar benih yang semakin meminggirkan peran perempuan di pedesaan yang selama ini berkontribusi dalam melindungi dan melestarikan benih-benih lokal. Benih harus diposisikan atau diidentifikasikan sebagai barang publik.

Petani hendaknya memiliki kebebasan dan perlindungan untuk membudidayakan, mendistribusikan dan menyimpan benih yang penting untuk menjamin produksi pangan yang berkelanjutan. Bab IPR juga memberikan perlindungan ekslusivitas data bagi input pertanian seperti pupuk dan pestisida. Monopoli pada agro-kimia (pupuk, pestisida) erat dengan pertanian monokultur, degradasi lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Aturan yang ada akan mencegah pasokan input kimia generik, padahal harga bahan pertanian generik bisa lebih murah dua-tiga kali lipat dibandingkan produk yang sama yang memiliki eksklusifitas data.

Proposal TRIPS Plus lain yang ditawarkan oleh EU adalah perpanjangan paten untuk produk perlindungan tanaman. Ini merujuk pada produk kimia seperti pestisida, dan pupuk. Perpanjangan ini diminta karena proses otorisasi untuk mendapatkan ijin pemasaran. Juga perpanjangan paten karena proses dalam pemberian paten. Ini tidak bisa diterima, karena produk-produk perlindungan tanaman adalah zat-zat yang biasanya berbahaya dan beracun. Sehingga upaya mempercepat proses pemeriksaan keamanan dalam proses ijin pemasaran, bisa membahayakan konsumen, produsen dan sekaligus lingkungan hidup.

Sementara perpanjangan paten karena proses pemeriksaaan paten akan memperlambat bahan kimia versi generic memasuki pasar, sehingga akan meningkatkan harga.
Lebih jauh, ekslusifitas data dan perpanjangan paten karena proses otorisasi pemasaran dan proses paten akan memparpanjang monopoli, menghambat akses dan meningkatkan harga bahan kimia versi generic. Ini akan meningkatkan sistem oplosan dalam penggunaan pestisida di lahan-lahan pertanian karena harga yang tinggi. Dan ini akan meningkatkan resiko kerusakan lingkungan, resistensi hama penyakit tanaman, keracunan bahan kimia.
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka kami masyarakat sipil :
Menuntut pemerintah indonesia dalam perundingan IEU~CEPA harus transparan dan terbuka dengan memastikan adanya keterlibatan masyarakat.

Mendesak pemerintah untuk berhenti mengorbankan kaum-kaum lemah seperti petani dan mengorbankan lingkungan hidup dalam memperoleh kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa.
Menuntut Pemerintah lndonesia untuk berpihak pada kepentingan rakyat ketimbang investasi asing. (Ril)