Emang Kenapa Kalau Tanpa Facebook ?

Opini
Facebook , Jejaring sosial media , Sosial Media

Palembang, lamanqu.id-Bertebaran pendapat di maya awal nya platform berhubungan dan saling menyapa dan berbagi dituding pendapat miring. Sebagai orang yang eggak mudah terpengaruh akan hal hal yang kontra produktif rasa nya perlu berselancar cari bukti bukti kecil sejauh apa dan berapa derajat kemiringan pendapat tersebut. Sampai akhirnya menemukan tulisan tulisan yang berani bersua cerita akan pandangan seseorang mampu mengekslore rasa pikiranya walaupun terbersit emosi nya sebagai seni berpendapat dalam susunan kata kata renyah tuk dibaca.

Dia tulis secara provokatif ” Anda belum punya nyali tuk tinggalkan Facebook’ Kehadiran media tak bisa dipungkuri sosial benar-benar berkah bagi orang yang menginginkan pertemanan yang luas. Kebetulan, saya pun adalah tipe orang yang senang berkenalan dan berhubungan dengan orang banyak. Saya memiliki hampir semua akun sosial media: Twitter, Tumblr, Goodreads, Foursquare, Instagram sampai Pinterest—semuanya, kecuali Facebook.

Dua tahun yang lalu, saya memutuskan hubungan dengan Facebook. Dengan gagah berani, saya meng-klik tombol deactivate account dan belum saya aktivasi lagi sampai sekarang.

Banyak alasan mengapa saya memilih untuk men-deaktivasi akun Facebook saya.

Pada dasarnya saya merasa sudah cukup membandingkan diri saya dengan orang lain. Saya merasa sudah cukup mendefinisikan diri saya berdasarkan berapa banyak orang yang meng-klik tanda ‘like’ atau berkomentar pada status saya. Dan saya merasa sudah cukup percaya bahwa rumput tetangga lebih hijau. Saya merasa sudah cukup mengetahui detail hidup orang lain hanya dalam beberapa kali klik dan membuat saya merasa bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau. Saya merasa cukup memuaskan ego saya.

Walaupun Facebook mengiklankan diri dengan tagline ‘staying connected’ atau tetap terhubung, menurut saya itu bukan tentang hubungan dengan makna yang mendalam. Itu lebih mengenai apa yang saya punya, apa yang teman-teman saya punya, apa yang sedang mereka lakukan, dan apa saja pencapaian dalam hidup mereka. Semakin semangat meng-klik halaman, kadang membuat saya merasa semakin frustrasi.

Dua tahun meninggalkan Facebook membuat saya menyadari beberapa hal. Mungkin saya nggak akan mendapatkan ucapan selamat ulang tahun sebanyak dulu, tapi yang saya dapatkan biasanya benar-benar tulus, karena mereka mengingat dan peduli kepada saya. Lagipula biasanya orang mengucapkan selamat ulang tahun di Facebook karena diingatkan oleh Facebook—bukan karena memang mengetahuinya, bukan pula karena merasa perlu mengetahuinya.
Mungkin saya nggak bisa mengetahui dengan cepat apa yang sedang happening di lingkaran pertemanan saya—tapi kemudian saya berpikir, apakah saya benar-benar perlu untuk mengetahuinya? Kebanyakan, sih, nggak.

Saya juga nggak perlu khawatir ada orang yang men-tag foto-foto yang nggak saya inginkan untuk menjadi bagian album foto saya. Kadang ada saatnya, masa lalu tetap berada di masa lalu. Kalau saya menginginkan foto-foto tersebut, saya masih bisa meminta teman saya mengirimkannya via email. Tanpa Facebook, saya juga merasa hidup saya bebas dari drama yang nggak perlu. Walaupun saya nggak terlibat di dalam percakapan atau komentar mengenai apa pun, tapi hanya dengan melihat suatu posting bisa memunculkan rasa negatif, menumbuhkan rasa penasaran, dan kemudian memicu gosip. Singkat kata: capek.

Belum lagi membuat saya kadang lupa bersyukur dengan hidup yang saya miliki. Tiap kali lihat posting orang lain (ada yang sedang keliling Eropa, beli rumah baru, bayi-bayi lucu, lulus sekolah di luar negeri, reuni yang seru, dan lain-lain yang intinya mengatakan bahwa mereka punya hidup yang luar biasa), sering kali ada perasaan iri dan cemburu: kenapa hidup saya nggak seperti mereka?

Jadi, masalahnya bukan di Facebook, tapi di saya. It’s not you, it’s me.

Kenapa saya nggak menonaktifkan akun media sosial saya yang lain? Mungkin suatu hari nanti saya akan menonaktifkan semuanya. Tapi saat ini saya merasa bahwa informasi yang ada di dalam Facebook terlalu berlebihan untuk saya—sehingga saya membutuhkan jarak dari Facebook.

Bagaimana dengan Anda? Pernah nggak mempertimbangkan hidup tanpa Facebook atau media sosial lain? Apakah pernah khawatir mengenai kehidupan sosial tanpa Facebook? Bertanya-tanya apa saja yang akan kita lewatkan di Facebook? Mungkin takut menjadi bosan karena tidak terhubung dengan orang lain? Atau mungkin takut menghabiskan waktu hanya dengan pikiran Anda sendiri?

Nggak apa-apa kalau Anda nggak buru-buru menonaktifkan akun Facebook Anda. Nggak apa-apa juga kalau Anda nggak setuju dengan alasan-alasan saya di atas. Jika Facebook membuat Anda bahagia dan merasa terhubung dengan orang lain, nggak ada salahnya untuk tetap berada di sana. Apa pun keputusan Anda, saya yakin pasti benar.

Tapi satu yang perlu diingat, mungkin untuk media sosial apa pun, bahwa ada dunia nyata di balik ini semua—yang menunggu untuk dijalani (dan mungkin dinikmati). Mungkin suatu hari, saya pun akan mengubah keputusan ini dan kembali mengaktivasi akun Facebook saya. Tapi sampai saat itu terjadi, saya memutuskan untuk tetap hidup tanpa Facebook.
Nah itu lah kenyataannya selanjutnya anda saja, masih mau pamer, marah marah, bercanda riang serta apa saja di Facebook perilaku tetap tanpa anda sadari mengandung reaktif sosial. (JL)