Kritik dan Otokritik Terhadap Gerakan Umat 212

Opini
Dolly Reza Pahlevi Pemerhati Sosial dan Politik Sumatera Selatan , Ganti Presiden , Gerakan 212 , Gerakan Umat 212 , Prabowo Sandi

Palembang, lamanqu.id – Gerakan moral 411 dan 212 lahir karena adanya ketidakadilan yang dilakukan terhadap umat Islam melalui kasus Ahok. Yang sangat fenomenal adalah lahirnya gerakan umat 212 yang dihadiri 7 juta lebih massa dari berbagai daerah di Indonesia yang berkumpul di Monas.

 

Gerakan ini adalah gerakan titik balik persatuan yang selama ini terkotak- kotak melebur menjadi satu dengan menanggalkan bendera, baju atau simbol- simbol yang melekat. Terbukti gerakan ini berhasil menumbangkan kekuatan- kekuatan 9 naga penyokong Ahok, yang mempunyai semua kekuatan mulai dari logistik pendanaan, media, kekuasaan dan lain lain.

 

Keberhasilan gerakan ini ternyata menjadi momok bagi Penguasa dan antek-anteknya. Pasca 212, berbagai cara dilakukan mulai dari pengembosan keterlibatan partai/relawan, persekusi anggota FPI bahkan dicap sebagai gerakan yang berlabel teroris, sampai berujung pada manipulasi pelanggaran pidana atau kriminalisasi kasus “chat mesum” oleh Habib Rizieq Shihab yang pada akhirnya membuat HRS, harus Hijrah Ke Mekkah demi pertimbangan keselamatan umat.

 

Skenario rezim untuk menjatuhkan gerakan 212 terbilang berhasil, akan tetapi HRS tidak tinggal diam; konsolidasi- konsolidasi umat terus berjalan dengan lahirnya Presidium Alumni 212, Sayangnya PA 212 belum mampu mengkonsolidasikan ke daerah-daerah dan mengakar.

Umat kemudian menginterprestasikan sendiri- sendiri terhadap gerakan Moral ini. Lahirnya gerakan tagar Relawan #2019ganti Presiden# adalah bentuk “Dahaga/kekosongan” akan situasi gerakan yang cenderung mencair.

Gerakan ini terbukti awalnya membangkitkan “Ghiroh” umat kembali yang diusung oleh Mardani Ali Sera (politisi PKS). Gerakan ini mulai melahirkan konsep dan ide-ide baru diantaranya lagu ganti presiden oleh Sang Alang dan deklarasi tagar #2019gantipresiden yang dikomandoi oleh Neno Warisman, Ahmad Dhani.

Beberapa daerah merespon gerakan ini sangat baik dan tergolong berhasil gerakan ini memunculkan ketakutan atau kepanikan luar biasa dari penguasa yang kemudian munculah persekusi di beberapa daerah, terakhir yang viral adalah persekusi di Riau Pekanbaru. Bahkan Aparat kepolisian di beberapa tempat terindikasi terlibat dalam persekusi ini. Strategi ini ternyata cukup berhasil ada beberapa daerah yang tadinya ingin mengusung deklarasi gagal terlaksana, terakhir di Lampung deklarasi berubah menjadi tagar #2019Prabowo presiden.

 

Pasca deklarasi tersebut di Sumsel gerakan deklarasi ganti presiden antara hidup dan mati tercatat yang diketahui ada sekitar 5 kelompok yang mengusung Ini lambat laun semangatnya melemah belum terlihat mengkrucut, membahas hal-hal detail teknis bahkan isu-isu di beberapa kelompok mulai mengusung nama tagar #2019Prabowopresiden, PAS, PADI. Inilah yang dikehendaki oleh rezim gerakan akan berubah menjadi gerakan politik, imbasnya umat-umat yang notabene tergabung dalam gerakan ganti presiden yang terdiri dari beberapa kelompok; pertama kelompok atau individu yang prihatin atas kondisi bangsa akan keterpurukan ekonomi (BBM, listrik, beras mahal dan lain lain) dan prihatin atas ketidakadilan perlakuan terhadap agama, yang kedua kelompok atau individu yang tergabung dalam partai partai koalisi Prabowo – Sandi, dan yang ketiga adalah kelompok yang fans Prabowo. kelompok pertama ini yang rentan untuk dijaga emosional, militansi.

Untuk itulah harus ada payung atau organisasi tersendiri di luar organ-organ yang berafiliasi politik langsung ke Prabowo – sandi. Jumlah kelompok ini sangat signifikan mulai dari kalangan pedagang, aktivis, OKP, Ormas yang merupakan pemilih-pemilih militan, kalau kelompok ini bisa tersubordinasi dengan baik kemenangan adalah soal waktu bahkan bisa sebaliknya. Semoga hasil Ijtima Ulama kedua merumuskan formula “Persatuan Umat”.

 

Penulis Dolly Reza Pahlevi Pemerhati Sosial dan Politik Sumatera Selatan.